“Brak”
Bola basket yang dimainkan oleh Egi seketika melayang ke tembok sebelah, dan menabrak sesuatu yang membuat benda tersebut pasti pecah.
“Aduuh, apa yang pecah ya, kayaknya pot bunga deh…” pikir Egi.
“Hei.. siapa yang bermain bola itu.” terdengar dari sebelah rumah Egi, tepatnya seberang tembok, rumah Egi.
“Sorry, aku gak sengaja.”
Egi berkata sekeras mungkin, agar orang yang di sebelah tembok dapat mendengarnya.
“Tadi apa yang pecah?” Tanya Egi lagi dan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya.
“Pot bunga kesayangan mamaku.” Ujar suara itu lagi.
“Nanti aku ganti deh.” “Gak usah nanti aku jelasin sama mama, kalau kamu gak sengaja.”
“Thanks banget ya.” senyum Egi mengembang, setelah mendapatkan jawaban yang sangat menyenangkan.
“Ohh iya setahu aku rumah sebelah kan kosong, maksudnya rumah kamu.” Tanya Egi sembari duduk di rumput halaman belakang rumahnya,
“Iya aku baru pindah ke sini, kurang lebih seminggu yang lalu.”
“Ohh.. Oh iya nama kamu siapa?”
“Namaku Pelangi.”
“Wah nama kamu cantik, pasti secantik orangnya.”
“Gah biasa aja, udah yah aku dipanggil mamaku, bola kamu nanti aku lempar ke rumah kamu.”
“Gak usah buat kamu aja itung-itung pengganti pot bunga kamu.”
“Ya sudah.” Sembari Pelangi memperlihatkan senyumnya yang manis meski tidak dilihat Egi.
Esoknya…
“Egi kamu sudah pulang? Cepat makan siang, itu sudah mama masakin makanan favorit kamu.” Ujar Mama Egi.
Selesai berganti baju Egi lalu ke luar kamar, dan mendekati meja makan, mengambil nasi dan lauknya tak lupa air minum, ia lalu berjalan membawa makanan itu ke halaman belakang rumah.
“Egi, mau makan dimana?” Tanya mamanya yang sedang membaca majalah.
“Mau makan di halaman belakang.” jawab Egi sambil tersenyum
Egi berjalan ke belakang rumah dan duduk di kursi teras belakang. Sesekali Egi menatap penuh cinta tembok rumah pelangi. Tak lama dari itu, terdengar seseorang bermain biola dari belakang tembok yang sedang ditatap Egi. Entah kenapa perasaan Egi sangat kuat, kalau yang bermain biola itu adalah Pelangi.
“Egi kamu sudah pulang? Cepat makan siang, itu sudah mama masakin makanan favorit kamu.” Ujar Mama Egi.
Selesai berganti baju Egi lalu ke luar kamar, dan mendekati meja makan, mengambil nasi dan lauknya tak lupa air minum, ia lalu berjalan membawa makanan itu ke halaman belakang rumah.
“Egi, mau makan dimana?” Tanya mamanya yang sedang membaca majalah.
“Mau makan di halaman belakang.” jawab Egi sambil tersenyum
Egi berjalan ke belakang rumah dan duduk di kursi teras belakang. Sesekali Egi menatap penuh cinta tembok rumah pelangi. Tak lama dari itu, terdengar seseorang bermain biola dari belakang tembok yang sedang ditatap Egi. Entah kenapa perasaan Egi sangat kuat, kalau yang bermain biola itu adalah Pelangi.
“Pelangi, Pelangi.”
“Iya.” jawab Pelangi dari seberang temok.
“Suara biola kamu merdu, kamu pintar bermain biola.” ujar Egi basa-basi
“Gak ah biasa aja kali, gak usah terlalu memuji, dari kemarin kerjaan kamu muji terus.”
“Emang kenyataannya gitu, kamu pantes buat dipuji kok.”
“Ah udah, jangan muji terus.”
“Ohh iya aku mau nanya kamu sekolah di mana dan kelas berapa?” Tanya Egi.
Pelangi kaget mendengar pertanyaan Egi.
“Aku kelas 2 SMA tapi aku home schooling.” Jawabnya ragu.
“Berarti kamu pintar dong haha..”
“Udah lah Gi jangan muji terus.”
Lama mereka bersenda gurau, meski mereka tak pernah sekali pun bertatap muka tapi seperti ada yang lain dari hari-hari yang pernah mereka lalui, terlebih lagi Pelangi.
“Iya.” jawab Pelangi dari seberang temok.
“Suara biola kamu merdu, kamu pintar bermain biola.” ujar Egi basa-basi
“Gak ah biasa aja kali, gak usah terlalu memuji, dari kemarin kerjaan kamu muji terus.”
“Emang kenyataannya gitu, kamu pantes buat dipuji kok.”
“Ah udah, jangan muji terus.”
“Ohh iya aku mau nanya kamu sekolah di mana dan kelas berapa?” Tanya Egi.
Pelangi kaget mendengar pertanyaan Egi.
“Aku kelas 2 SMA tapi aku home schooling.” Jawabnya ragu.
“Berarti kamu pintar dong haha..”
“Udah lah Gi jangan muji terus.”
Lama mereka bersenda gurau, meski mereka tak pernah sekali pun bertatap muka tapi seperti ada yang lain dari hari-hari yang pernah mereka lalui, terlebih lagi Pelangi.
3 bulan berlalu…
Selama itu pula mereka sering bercanda-canda, tertawa-tawa, dari balik sebuah tembok.
Suatu hari di sore hari…
“Pelangi, kita ketemuan yuk. besok di taman samping komplek.” ajak Egi.
Entah sudah berapa kali Egi mengajaknya untuk bertemu, tetapi selalu Pelangi menolak.
“Pelangi, kenapa sih kamu gak pernah mau aku ajak ketemuan? Kamu malu ya berteman dengan aku? Karena kamu pikir aku jelek? Aku emang jelek tapi aku mohon, aku mau ketemu kamu.”
“Bukan, bukan karena itu, aku tetep gak bisa. Kamu kenapa sih maksa aku buat ketemuan? Lebih baik begini kita berteman, meski dihalangi sebuah tembok tapi tetap apa adanya.”
Egi sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pelangi selalu memiliki seribu alasan untuk menolak ajakannya.
Selama itu pula mereka sering bercanda-canda, tertawa-tawa, dari balik sebuah tembok.
Suatu hari di sore hari…
“Pelangi, kita ketemuan yuk. besok di taman samping komplek.” ajak Egi.
Entah sudah berapa kali Egi mengajaknya untuk bertemu, tetapi selalu Pelangi menolak.
“Pelangi, kenapa sih kamu gak pernah mau aku ajak ketemuan? Kamu malu ya berteman dengan aku? Karena kamu pikir aku jelek? Aku emang jelek tapi aku mohon, aku mau ketemu kamu.”
“Bukan, bukan karena itu, aku tetep gak bisa. Kamu kenapa sih maksa aku buat ketemuan? Lebih baik begini kita berteman, meski dihalangi sebuah tembok tapi tetap apa adanya.”
Egi sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pelangi selalu memiliki seribu alasan untuk menolak ajakannya.
—
“Aduuh kenapa aku gak bisa berhenti mikirin dia? Apa aku suka
sama dia? Gak aku gak suka sama dia, tapi aku cinta sama dia. Tapi kok bisa ya?
Padahal aku gak pernah sedetik pun melihat wajahnya. Tapi apalah arti cinta,
kalau hanya tak pernah melihat wajah, toh cinta itu tetap sempurna… Besok aku
harus utarakan semuanya… harus!” Egi berkata penuh semangat sambil memeluk
bantalnya, lalu sedetik kemudian ia menatap tembok lewat jendela kamarnya.
“I LOVE U TEMBOK, uups salah, I LOVE U PELANGI… ”
“I LOVE U TEMBOK, uups salah, I LOVE U PELANGI… ”
—
Egi berjalan keluar, tepatnya halaman belakang rumahnya dengan
jantung yang berdegup kencang.
“Pelangi, pelangi.” panggilnya.
“Iya Egi ini aku.”
“Ehm pelangi, sebenernya hari ini ada yang mau aku omongin sama kamu.”
“Kamu mau ngomong apa?”
“Pelangi, aku mau jujur sama kamu, meskipun kita gak pernah ketemu tapi aku suka sama kamu, bahkan lebih dari itu aku cinta kamu Pelangi. Apa kamu punya perasaan yang sama seperti aku?” Egi sudah bisa menguasai hatinya.
Terkejut Pelangi mendengarnya, ia tidak menyangka Egi bisa mengungkapkan itu semua.
“Aku mau jadi pacar kamu, kamu mau gak jadi pacar aku?” lanjut Egi.
“Pelangi. Kok diam? kaget ya aku bisa seberani ini? tapi inilah aku selalu mengatakan kejujuran, jika sesuatu itu memang benar di hatiku.” tanyanya lagi ketika tak ada jawaban dari pelangi.
“Gi, bukannya aku gak sayang sama kamu, aku juga cinta sama kamu, tapi aku gak bisa buat jadi pacar kamu, aku bukan yang terbaik buat kamu, kamu bisa dapetin perempuan yang lebih sempurna daripada aku.” ucapnya sebisa mungkin tuk menahan tangisnya.
“Aku cinta kamu, kamu juga cinta aku, tapi kenapa kamu gak bisa, kenapa?”
“Kamu gak akan ngerti gi… aku… aku… sudahlah.”
Pelangi membalikkan badannya dan memutar roda-roda itu secepat mungkin memasuki kamarnya. Tinggal lah Egi yang terus memanggil-manggil nama pelangi.
“pelangi… pelangi…”
“Pelangi, pelangi.” panggilnya.
“Iya Egi ini aku.”
“Ehm pelangi, sebenernya hari ini ada yang mau aku omongin sama kamu.”
“Kamu mau ngomong apa?”
“Pelangi, aku mau jujur sama kamu, meskipun kita gak pernah ketemu tapi aku suka sama kamu, bahkan lebih dari itu aku cinta kamu Pelangi. Apa kamu punya perasaan yang sama seperti aku?” Egi sudah bisa menguasai hatinya.
Terkejut Pelangi mendengarnya, ia tidak menyangka Egi bisa mengungkapkan itu semua.
“Aku mau jadi pacar kamu, kamu mau gak jadi pacar aku?” lanjut Egi.
“Pelangi. Kok diam? kaget ya aku bisa seberani ini? tapi inilah aku selalu mengatakan kejujuran, jika sesuatu itu memang benar di hatiku.” tanyanya lagi ketika tak ada jawaban dari pelangi.
“Gi, bukannya aku gak sayang sama kamu, aku juga cinta sama kamu, tapi aku gak bisa buat jadi pacar kamu, aku bukan yang terbaik buat kamu, kamu bisa dapetin perempuan yang lebih sempurna daripada aku.” ucapnya sebisa mungkin tuk menahan tangisnya.
“Aku cinta kamu, kamu juga cinta aku, tapi kenapa kamu gak bisa, kenapa?”
“Kamu gak akan ngerti gi… aku… aku… sudahlah.”
Pelangi membalikkan badannya dan memutar roda-roda itu secepat mungkin memasuki kamarnya. Tinggal lah Egi yang terus memanggil-manggil nama pelangi.
“pelangi… pelangi…”
Esoknya pulang sekolah, Egi mendengar pelangi memainkan biola
itu lagi.
“Pelangi, kenapa kemarin kamu ninggalin aku begitu aja?”
Biola itu berhenti, tetapi pelangi tak berkata apa-apa hanya bisa terdiam
“pelangi kamu kenapa? Apa yang membuat kamu merasa diri kamu gak sempurna? Pelangi percayalah, cintaku bukan hanya sekedar terucap dari bibir, tetapi di hati lebih dalam, percayalah aku akan menjaga kamu seutuhnya sampai kamu dapat merasakan, kalau kamu itu sempurna untukku… percayalah… ku mohon.” panjang lebar Egi berkata.
“Apa kamu bisa jamin kamu bisa cintai aku apa adanya?” ucap Pelangi.
“Iya kamu harus percaya itu aku cinta kamu apa adanya… dengan semua kelebihan dan kekuranganmu…”
“Baiklah, tapi sebelumnya kita ketemuan terlebih dulu besok, di taman agar kamu tau siapa sebenarnya aku…” ajak pelangi. Terlihat senyuman mengembang di sudut bibir Egi.
“Pelangi, kenapa kemarin kamu ninggalin aku begitu aja?”
Biola itu berhenti, tetapi pelangi tak berkata apa-apa hanya bisa terdiam
“pelangi kamu kenapa? Apa yang membuat kamu merasa diri kamu gak sempurna? Pelangi percayalah, cintaku bukan hanya sekedar terucap dari bibir, tetapi di hati lebih dalam, percayalah aku akan menjaga kamu seutuhnya sampai kamu dapat merasakan, kalau kamu itu sempurna untukku… percayalah… ku mohon.” panjang lebar Egi berkata.
“Apa kamu bisa jamin kamu bisa cintai aku apa adanya?” ucap Pelangi.
“Iya kamu harus percaya itu aku cinta kamu apa adanya… dengan semua kelebihan dan kekuranganmu…”
“Baiklah, tapi sebelumnya kita ketemuan terlebih dulu besok, di taman agar kamu tau siapa sebenarnya aku…” ajak pelangi. Terlihat senyuman mengembang di sudut bibir Egi.
Egi berjalan menyusuri taman, mencari sosok yang bernama
pelangi. Akhirnya setelah kurang lebih 6 bulan mereka tak pernah bertemu hari
ini semua akan terselesaikan. Katanya pelangi pake baju warna putih, rok hitam,
dan rambut panjang tergerai dengan seuntai berwarna hitam putih. Ketika Egi
melihat seorang wanita yang sedang duduk di sebelah bunga mawar, dengan kriteria
yang diberi tahu oleh pelangi, Egi mendekatinya dengan sedikit terkejut.
“Pelangi.” ucapnya setelah berada di depan wanita itu.
“Ya, aku pelangi.” ucap wanita itu dengan pandangan lurus ke depan.
“Maafin aku, aku gak tau kalau kamu lumpuh.” ujar Egi terbata-bata, sambil duduk di hadapan Pelangi… ya… Pelangi yang dikenalnya lumpuh, sekarang pun ia duduk di sebuah kursi roda.
“Bahkan lebih dari itu.” ucap Pelangi berusaha untuk tegar.
“Maksudnya?” tanya Egi heran.
“Dari kecil, aku sudah tak bisa melihat dunia.”
“jadi, kamu…?” Egi berkata nampaknya ia tahu apa yang dimaksud oleh pelangi.
“Aku gak bisa melihat. Wajahmu sekarang pun aku tak tau, mungkin kamu nyesel pernah cinta dan mengutarakannya padaku, aku terima kalau saat ini kamu mau ninggalin aku. Pergilah gi, masih banyak wanita yang lebih baik dari aku…” Pelangi sudah tak bisa menahannya lagi, air mata menetes begitu saja dari bola mata yang indah itu.
“Pelangi, kemarin aku udah bilang sama kamu kalau aku akan sayang sama kamu dengan tulus, setulus-tulusnya, tak peduli apa yang telah terjadi padamu dan apa yang sekarang sedang kamu rasakan. Satu hal yang harus kamu tau, aku cinta sama kamu, semoga ini dapat meyakinkanmu.” Egi berkata seakan-akan ingin mengalir pula air matanya yang telah berkaca-kaca itu. Ia meraih tangan pelangi dan menggemnya.
“Kamu menangis gi?” Tanya pelangi, ketika ia rasakan setetes air jatuh di tagannya.
Egi tak menjawab, ia menatap wajah pelangi sedalam-dalamnya sambil tersenyum, dan meyakinkan hatinya sendiri, bahwa ia benar-benar mencintai wanita yang sekarang berada di hadapannya. Egi mendorong kursi roda pelangi, mereka berdua mengelilingi taman itu, sesekali Egi mengambil bunga yang ia lihat lalu menyuruh pelangi mencium harumnya dan menebak bunga apa itu. Pelangi percaya kalau Egi bener-bener sayang padanya. Ketika Egi melihat salah satu bunga yang membuatnya tersenyum, ia lalu memetiknya dan mendekatkannya pada indra penciuman pelangi.
“Coba tebak bunga apa ini?”
“Udah dong gi, aku udah capek.” ucap pelangi karena dari tadi sudah lebih dari 8 bunga yang diberikan oleh Egi.
“Ayo dong, pliss ini yang terakhir deh.”,
“Ini bunga mawar ya.” jawab pelangi sambil tersenyum.
“Iya, ini bunga mawar, kamu pernah kan ngomong sama aku kalau kamu pengen banget suatu saat nanti kamu diberi bunga mawar oleh orang yang sangat sayang sama kamu sekarang impian kamu terwujud, aku mau kasih bunga ini ke kamu, tandanya aku sayang banget sama kamu.”
“Pelangi.” ucapnya setelah berada di depan wanita itu.
“Ya, aku pelangi.” ucap wanita itu dengan pandangan lurus ke depan.
“Maafin aku, aku gak tau kalau kamu lumpuh.” ujar Egi terbata-bata, sambil duduk di hadapan Pelangi… ya… Pelangi yang dikenalnya lumpuh, sekarang pun ia duduk di sebuah kursi roda.
“Bahkan lebih dari itu.” ucap Pelangi berusaha untuk tegar.
“Maksudnya?” tanya Egi heran.
“Dari kecil, aku sudah tak bisa melihat dunia.”
“jadi, kamu…?” Egi berkata nampaknya ia tahu apa yang dimaksud oleh pelangi.
“Aku gak bisa melihat. Wajahmu sekarang pun aku tak tau, mungkin kamu nyesel pernah cinta dan mengutarakannya padaku, aku terima kalau saat ini kamu mau ninggalin aku. Pergilah gi, masih banyak wanita yang lebih baik dari aku…” Pelangi sudah tak bisa menahannya lagi, air mata menetes begitu saja dari bola mata yang indah itu.
“Pelangi, kemarin aku udah bilang sama kamu kalau aku akan sayang sama kamu dengan tulus, setulus-tulusnya, tak peduli apa yang telah terjadi padamu dan apa yang sekarang sedang kamu rasakan. Satu hal yang harus kamu tau, aku cinta sama kamu, semoga ini dapat meyakinkanmu.” Egi berkata seakan-akan ingin mengalir pula air matanya yang telah berkaca-kaca itu. Ia meraih tangan pelangi dan menggemnya.
“Kamu menangis gi?” Tanya pelangi, ketika ia rasakan setetes air jatuh di tagannya.
Egi tak menjawab, ia menatap wajah pelangi sedalam-dalamnya sambil tersenyum, dan meyakinkan hatinya sendiri, bahwa ia benar-benar mencintai wanita yang sekarang berada di hadapannya. Egi mendorong kursi roda pelangi, mereka berdua mengelilingi taman itu, sesekali Egi mengambil bunga yang ia lihat lalu menyuruh pelangi mencium harumnya dan menebak bunga apa itu. Pelangi percaya kalau Egi bener-bener sayang padanya. Ketika Egi melihat salah satu bunga yang membuatnya tersenyum, ia lalu memetiknya dan mendekatkannya pada indra penciuman pelangi.
“Coba tebak bunga apa ini?”
“Udah dong gi, aku udah capek.” ucap pelangi karena dari tadi sudah lebih dari 8 bunga yang diberikan oleh Egi.
“Ayo dong, pliss ini yang terakhir deh.”,
“Ini bunga mawar ya.” jawab pelangi sambil tersenyum.
“Iya, ini bunga mawar, kamu pernah kan ngomong sama aku kalau kamu pengen banget suatu saat nanti kamu diberi bunga mawar oleh orang yang sangat sayang sama kamu sekarang impian kamu terwujud, aku mau kasih bunga ini ke kamu, tandanya aku sayang banget sama kamu.”
Pelangi tersenyum.
“Ohh iya aku punya kalimat yang bagus buat kamu degerin ya.”
Pelangi mengangguk lagi-lagi dengan senyuman.
“Bagiku, cinta itu seperti nasi yang memberikan energi bagi setiap kehidupan, cinta seperti sayuran yang dapat diolah berbagai rasa, asalkan orang itu dapat menikmatinya, cinta itu seperti jeruk, manis dan menyegarkan, tapi ada juga yang asam, dan cinta itu seperti susu, melengkapi hidup kita menjadi sempurna. Pelangi, aku mau jadi nasi, sayuran, jeruk yang manis, dan susu untukmu… kamu mau kan menerimanya? jawaban kemarin, belum aku dapatkan, kali ini jawab ya…”
Anggukan pelan dari pelangi, menghancurkan segala dinding penantian Egi.
“Tapi, kenapa dari tadi kamu mengkaitkan itu semuanya dengan makanan, jadi lucu.” ujar pelangi tertawa kecil.
“Soalnya… soalnya… aku udah laper… hahaha.” Egi tak bisa menahan tawa.
“Iiih kamu masak cinta dikait-kaitkan dengan makanan.” Pelangi ikut tertawa.
“Sekarang kita makan yuk.” ajak Egi.
“Iya.” jawab Pelangi masih menyisakan tawa itu.
“Tunggu dulu gi.” ucap pelangi.
“Iya, ada apa ngi?” Tanya Egi.
“Kamu janji kan akan selalu menerangi gelap-gulitanya hati dan duniaku?” ucap pelangi.
“Aku berjanji akan selalu menjadi Lilin-lilin untukmu.”
Egi meraih tubuh Pelangi dan memeluknya erat, wanita yang sangat amat dan teramat ia cintai.
“Ku cinta apa adanya kamu.” Lirih Egi berkata.
“Ohh iya aku punya kalimat yang bagus buat kamu degerin ya.”
Pelangi mengangguk lagi-lagi dengan senyuman.
“Bagiku, cinta itu seperti nasi yang memberikan energi bagi setiap kehidupan, cinta seperti sayuran yang dapat diolah berbagai rasa, asalkan orang itu dapat menikmatinya, cinta itu seperti jeruk, manis dan menyegarkan, tapi ada juga yang asam, dan cinta itu seperti susu, melengkapi hidup kita menjadi sempurna. Pelangi, aku mau jadi nasi, sayuran, jeruk yang manis, dan susu untukmu… kamu mau kan menerimanya? jawaban kemarin, belum aku dapatkan, kali ini jawab ya…”
Anggukan pelan dari pelangi, menghancurkan segala dinding penantian Egi.
“Tapi, kenapa dari tadi kamu mengkaitkan itu semuanya dengan makanan, jadi lucu.” ujar pelangi tertawa kecil.
“Soalnya… soalnya… aku udah laper… hahaha.” Egi tak bisa menahan tawa.
“Iiih kamu masak cinta dikait-kaitkan dengan makanan.” Pelangi ikut tertawa.
“Sekarang kita makan yuk.” ajak Egi.
“Iya.” jawab Pelangi masih menyisakan tawa itu.
“Tunggu dulu gi.” ucap pelangi.
“Iya, ada apa ngi?” Tanya Egi.
“Kamu janji kan akan selalu menerangi gelap-gulitanya hati dan duniaku?” ucap pelangi.
“Aku berjanji akan selalu menjadi Lilin-lilin untukmu.”
Egi meraih tubuh Pelangi dan memeluknya erat, wanita yang sangat amat dan teramat ia cintai.
“Ku cinta apa adanya kamu.” Lirih Egi berkata.
THE END
Cerpen Karangan: Nabila Maulidiyah
Facebook: Nabila NM
Facebook: Nabila NM
0 komentar:
Posting Komentar
Thank's atas komentarnya